Beranda | Artikel
Syubhat Tidak Ada Dalil yang Melarang Baiat
Senin, 16 Februari 2004

AL-BAI’AH BAINA AS-SUNNAH WAL AL-BID’AH ‘INDA AL-JAMA’AH AL-ISLAMIYAH
[BAI’AT ANTARA SUNNAH DAN BID’AH 3/9]

Oleh
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

PENGANTAR [3/3]
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa komitmen harus dengan manhaj Islam, fikrah dan syari’at Allah. Bahkan terhadap individu, tanzhim-tanzhim, jama’ah-jama’ah atau pemerintah-pemerintah yang semuanya sebagai tempat salah dan benar. Karena bencana, kesenjangan, penyakit dan wabah akan menyusup dalam kehidupan Islam dari celah penyimpangan terhadap barometer ini atau usaha merampasnya dari tangan seorang muslim.

Dari sana dapat dipahami bahwa kemaksuman semu diberikan atas sebagian orang, rekomendasi-rekomendasi yang menggelikan yang dibuat untuk berbuat semaunya adalah awal keruntuhan. Karena, ini adalah permulaan praktik penggunaan tujuan-tujuan dan bukan mengemban tanggung jawab. Kadang-kadang hal ini merupakan sifat manusia tatkala dikuasai masa-masa tak berdaya atau menimpa kepada mereka keadaan-keadaan genting, intimidasi pemikiran secara terus menerus, atau rusaknya suasana politik, sehingga hukum dibeda-bedakan menurut orangnya, dan dibentuk penipuan terhadap syariat dalam bentuk sesuatu yang diada-adakan. Serta menumbuh tingkatkan ahli fikih penguasa, baik penguasa harta, pemerintah atau jabatan. Lalu ditakwilkan hadits-hadits dan ayat-ayat menurut kemauan hawa nafsunya. Akibatnya seseorang tidak boleh mengetahui bahwa mengajak untuk komitmen dengan manhaj merupakan barometer dan standard kebenaran dan kebatilan. Sedang tidak iltizam (komitment) dengan seseorang dituduh sebagai sikap ragu terhadap pribadi, merusak perjuangan dan menjauhkan diri dari jama’ah kaum muslimin secara keseluruhan.

Hal ini bukan perkara yang seorang muslim boleh memilihnya. Tetapi pada hakekatnya merupakan pembenaran terhadap langkah kehidupan kaum muslimin dalam berjama’ah dan menghilangkan terisolirnya seseorang dari kehidupan manusia serta upaya berpegang teguh dengan Islam. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya.

وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ

“Dan dua orang yang saling bercinta karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah di atas keadaan yang demikian” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah]

Maka persatuan harus di atas manhaj, bukan di atas pribadi-pribadi. Berpisahpun harus di atas manhaj, bukan di atas pribadi-pribadi. Kecuali dalam keadaan hilang akal, dan tidak mampu menlihat kebenaran (al-haq) dengan benar disebabkan fanatik golongan, pribadi, ikatan dan kaum. Atau pada keadaan tidak adanya kemauan yang kuat untuk ber-iltizam dengan agama ini. [1]

Ringkasnya ialah : Termasuk pandangan yang salah adalah keyakinan bahwa praktik mengkritik, saling menasehati, amar ma’ruf dan nahi mungkar akan menimbulkan kekacauan di barisan Islam dan kegoncangan dalam beramal. Padahal suatu barisan atau jama’ah yang takut untuk berdialog dengan pobhi untuk saling memberi nasehat, apalagi setan memberi kerancuan kepada sebagian anggotanya bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar akan merusak keberdayaannya adalah jamaah yang tidak dapat dipercaya, tidak berhak untuk langgeng dan tidak punya keahlian untuk mengemban risalah Islam yang tuntunan utamanya adalah amar ma’ruf dan nahi mungkar. Maka orang yang tidak punya sesuatu, tidak mungkin akan memberikan sesuatu tersebut.

Sesungguhnya membuang praktik saling menasehati, menahannya dan menghempaskannya, akan menimbulkan bahaya besar yang akan menimpa pada permasalahan pokok bagi keberlangsungan bentuk amalan dan dakwah. Karena sarana (yaitu saling menolong di dalam perjalanan suatu jama’ah untuk sampai kepada kebaikan yang lebih besar) berubah menjadi tujuan menurut batasan jama’ah tersebut. Sesungguhnya sifat egois dan intimidasi pemikiran yang ada pada sebagian aktifis Islam, merupakan akibat dari hilangnya medan perbuatan keimanan yang kokoh yang dapat melahirkan sifat tawadhu’, lemah lembut dan akhlak yang mulia. Pada akhirnya muncul kelompok-kelompok kecil, semacam sekte-sekte baru, sehingga terpecahlah kemampuan berpikir, timbul golongan-golongan dan hilang persatuan, menjadi goncang tangga menuju keutamaan, hilang tempat menghimpun permasalahan-permasalahan, berhenti pekerjaan yang menghasilkan. Sarana-sarana berubah menjadi tujuan (sebagaimana kami telah jelaskan). Gambaran Islam hanya berkisar pada figur-figur yang permasalahan Islam tidak dilihat kecuali dari mereka. Kesungguhan beramal berubah menjadi pekerjaan untuk mendapatkan rekomendasi, lalu pekerjaan memperoleh rekomendasi ini menjadi dominan pada saat memahami studi sebab-sebab terjadinya kemunduran.

Permasalahan ini tidak akan bisa diobati kecuali dengan cara membiasakan berfikir, berdialog dan berpegang teguh dengan adab berselisih yang Islami. Menjadikan amalan yang disyari’atkan sebagai prinsip-prinsip, sedang pemikiran-pemikiran bukan untuk sarana bagi figur-figur tertentu. Karena akidah tempatnya adalah di hati. Tidak ada kekuasaan bagi seorangpun kecuali kekuasaan dalil. Dan menerima sesuatu dengan apa adanya hendaknya dibiasakannya (berhenti pada dalil). Allah subhanahu wa Ta’ala mengabarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa tujuan diutusnya beliau adalah memberikan rahmat kepada alam semesta. Allah berfirman.

“Tidaklah engkau diutus kecuali sebagai rahmat bagi semua alam” [Al-Anbiya’/21 : 107]

Dan berfirman.

“Engkau bukanlah sebagai penguasa bagi mereka” [Al-Ghasyiyah/88 : 22]

Dan Allah berfirman kepada Nabi-Nya juga.

“Apakah kamu memaksa manusia agar mereka menjadi orang yang beriman ?” [Yunus/10 : 99]

Dan berfirman.

“Seandainya engkau kasar dan keras hati, niscaya mereka lari darimu” [Ali-Imran/3 : 159]

Inilah sebagian langkah-langkah utama dalam berdakwah kepada Allah dan menyebarkan rahmat bagi semua alam. [2]

[Disalin dari kitab Al-Bai’ah baina as-Sunnah wa al-bid’ah ‘inda al-Jama’ah al-Islamiyah, edisi Indonesia Bai’at antara Sunnah dan Bid’ah oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid, terbitan Yayasan Al-Madinah, penerjemah Arif Mufid MF.]
_______
Footnote.
[1] Nadzarat fi Masirah al-Amal al-Islami, hal. 21-22, Umar Ubaid Hasanah
[2] Idem, hal. 36-37, Umar Ubaid Hasanah


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/221-persatuan-harus-diatas-manhaj-bukan-diatas-pribadi-pribadi-dan-berpisahpun-harus-diatas-manhaj.html